Mempertanyakan Kembali Sejarah Kelam

Kunjungan saya dan teman (ehem) saya, Anggoro, ke Museum Pancasila Sakti sedikit banyak hanya untuk membuka mata lebih lebar tentang adanya fakta yang ditutupi dalam sejarah berdarah Indonesia dan tidak banyak yang menyadarinya. Museum Pancasila Sakti terletak di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, dan sangat mudah mencapai akses ke sana karena lokasinya cukup dekat dengan rumah. Sebelum memasuki Museum Pancasila Sakti, kami memantapkan hati terlebih dahulu untuk tidak mempercayai seluruhnya tentang apa yang akan ‘disuguhkan’ oleh museum yang didirikan pada masa pemerintahan Soeharto itu.

Di Gedung Pengenalan, kami melihat diorama dari beragam peristiwa dari bangkitnya PKI hingga terjadinya G30S secara berurutan. Kemudian, kami memasuki Ruang Pakaian dan Bekas Darah, di mana pakaian-pakaian yang dikenakan para jenderal saat pembantaian dipajang. Di ruangan itu pula, terdapat buku gambar dan tulisan tangan Ade Irma Suryani, putri Jenderal A. H. Nasution yang tertembak saat penculikan terjadi. Lalu kami melihat Rumah Penyiksaan, Sumur Maut, dan beberapa rumah warga yang digunakan oleh PKI untuk mendukung penculikan.

Hal yang mistis saya dan teman saya dapatkan disana adalah ketika memasuki Pos Komando, yakni rumah yang digunakan untuk briefing para anggota PKI, dan rumah yang digunakan sebagai dapur umum. Masih terdapat barang-barang peninggalan asli yang tidak dipindah di rumah tersebut. Anehnya, ada aura negatif yang terasa menekan sekujur tubuh saat memasuki rumah yang cukup kecil itu, tetapi sepertinya hanya kami yang merasakannya dan orang lain tidak. Aura tersebut seperti mengusir kami untuk segera keluar dari rumah. “Mungkin (aura) itu adalah energi jahat yang berkumpul dari niat-niat membunuh waktu itu dan belum hilang sampai sekarang”, kata teman saya saat itu. Entahlah. Kami pun pulang dengan membawa oleh-oleh berupa buku saku museum.

Dulu, saat masih SD, saya hanya menganggap peristiwa G30S/PKI sebagai bagian dari sejarah bangsa yang harus saya pelajari supaya lulus ulangan. Ketujuh wajah beserta nama pahlawan revolusi saya hapalkan hanya demi nilai 10 di kertas ujian. Saya pun masih ingat ketika Pak Guru memutarkan film G30S/PKI, sebuah film tentang kebiadaban PKI dalam pembantaian 7 jenderal TNI-AD, yang dulu wajib diputar setiap tahun-nya pada masa pemerintahan orde baru.

Pak Guru kemudian menghentikan film sebelum sesi pembantaian –mengingat yang ada di depan layar film tersebut adalah anak-anak berusia 11 tahun— dan menerangkan lagi betapa kejamnya PKI serta bagaimana Soeharto sebagai panglima Kostrad saat itu menumpas seluruh antek-antek PKI dan membawa perdamaian bagi Indonesia. Semua anak manggut-manggut mendengar apa kata Pak Guru.

Ujian selesai. Semua anak, termasuk saya, menerima bahwa PKI adalah makhluk biadab dan Soeharto adalah pahlawan. Pelajaran sejarah pun beralih ke bab lain.

Lalu saya mulai bertambah pintar (sedikit) dan mulai mendengar desas-desus bahwa sejarah tentang G30S/PKI yang dituliskan pada masa itu tidak semuanya benar, dilebih-lebihkan, atau bahkan direkayasa agar masyarakat membenci PKI. Hingga pada puncaknya, saya menonton film dokumenter berjudul “Genjer” di screening 9th Documentary Days 2015 bulan November silam. Film dokumenter “Genjer” itu memaparkan tentang kebenaran di balik lagu para petani berjudul “Genjer-Genjer” yang disimbolkan sebagai lagu PKI. Hal itu menjadi pemicu bagi saya untuk menggali lagi lebih dalam, apakah semua tentang gerakan sadis sebagai tindakan pencegahan dari PKI untuk menghindari kudeta presiden tersebut benar adanya?

Sampai detik ini, hanya sedikit penulis yang melalui bukunya mencoba mengungkap kembali kebenaran G30S/PKI. Buku-buku tersebut tidak begitu booming dan hanya sedikit beredar di pasaran.

Kebenaran yang sesungguhnya mungkin masih jauh terpendam, jauh di dalam kenangan saksi-saksi hidup G30S yang tersisa namun sulit ditemukan. Masih ada yang tersembunyi di dalam laci CIA dan selebihnya dibawa oleh pemeran-pemeran penting dalam G30S tahun 1965 itu yang kini sudah tiada.

Tapi, dibalik itu semua, begitu banyak yang harus terbunuh dan tersingkirkan demi kepentingan beberapa kelompok. Sebegini kejamnya, kah, dunia kita?

[Etri]

Leave a Comment

Blog di WordPress.com.